Momoye: Mereka Memanggilku

momoye_mereka_memanggilku1Detail buku:
Penulis: Eka Hindra, Koichi Kimura
Editor: Esthi Damayanti, Theresia Vini S.
Cover: Hendro Suseno
Fotografer: Imung, Jerry Aurum
Tebal: 314 hlm
Penerbit: Esensi Erlangga Grup
Cetakan: I, 2007
ISBN: 978-979-0152199

Sinopsis:

Momoye adalah salah satu potret buram seorang perempuan dari Yogyakarta yang dipaksa menjadi “rangsum jepang” pada masa pendudukan Jepang di Indonesia th 1942. Mardiyem, demikian namanya kecilnya, harus menanggung derita panjang selama menjadi Jugun Ianfu di Asrama tentara Jepang, Telawang Kalimantan Selatan. Ia disiksa, dianiaya, dipaksa melayani nafsu seks tentara Jepang pada umur yang masih sangat muda 13 th, bersama 24 orang perempuan lainnya, yang berasal dari berbagai daerah di pulau Jawa.

Resensi:

Aku diberi nama Momoye dan menempati kamar nomor 11. Sejak saat itu semua orang memanggilku dengan nama itu. Nama Mardiyem telah hilang di Telawang.

Adalah Mardiyem, seorang mantan Jugun Ianfu yang menjadi tokoh sentral buku biografi ini. Cerita tentang perjuangan Mardiyem dalam usahanya memperoleh keadilan atas tindakan rezim militer Jepang saat menjajah Indonesia di tahun 1942 sampai 1945 itu diceritakan secara langsung oleh wanita sepuh beranak satu ini.

Apa itu Jugun Ianfu?
Ju = ikut, Gun = militer/bala tentara, Ian = penghibur, Fu = perempuan, sehingga bisa diartikan bahwa Jugun Ianfu adalah “Perempuan penghibur yang ikut militer”. Penyebutan ini sengaja digunakan pihak Jepang untuk menutupi kenyataan sebenarnya tentang profesi para perempuan tersebut yang sebenarnya digunakan sebagai budak seks oleh para tentara Jepang, bukan perempuan penghibur yang sukarela menjajakan tubuhnya kepada para tentara tersebut.

Siapa itu Mardiyem?

hutmardiyem

Sosok tua Mardiyem

Mardiyem adalah bungsu dari empat bersaudara yang lahir dari seorang abdi dalem pekatik bangsawan Yogyakarta, Irodjoyo, dan istrinya, Waginem pada tanggal 7 Februari 1929. Waginem meninggal saat Mardiyem baru berusia tujuh bulan sehingga sejak kecil gadis itu menjadi sangat dekat dengan sang ayah. Mardiyem sendiri tidak terlalu akrab dengan ketiga kakaknya, Jainem, Ngadiyem, dan Kartini, karena jarak usia mereka yang terlampau jauh.

Mardiyem diberi kesempatan oleh ayahnya untuk bersekolah di sekolah rakyat, sebuah hal langka pada masa itu. Didikan ayahnya membuat Mardiyem menjadi gadis yang pemberani, bebas berpendapat, berkeinginan teguh, dan tak segan-segan melawan apabila menerima perlakuan tidak adil atau ditindas teman. Sifat ini terbawa hingga dia berusia 13 tahun dimana di usia tersebut dia sudah memutuskan untuk menjadi seorang penyanyi dan pemain sandiwara.

Sejak kecil Mardiyem memang sudah sangat menyukai kesenian, dia bisa membatik, gemar menonton film di gedung bioskop, pertunjukan ketoprak, dan juga wayang. Ketertarikannya terhadap seni pertunjukan inilah yang nantinya memberi peluang Mardiyem untuk menghasilkan uang sepeninggal ayahnya dan sekaligus membawa bencana untuknya di kemudian hari.

Keinginan Mardiyem untuk bergabung di grup sandiwara Pantja Soerya di Borneo tidak berjalan seperti yang dia bayangkan. Bukannya menjadi seorang pemain sandiwara seperti yang diinginkannya, Mardiyem bersama teman-teman seangkatan yang didatangkan dari Jawa dipaksa menjadi budak seks Jepang, yang kemudian dikenal dengan nama Jugun Ianfu. Mardiyem yang kemudian diberi nama Jepang Momoye mengalami penyiksaan secara fisik dan mental di Asrama Telawang, Kalimantan Selatan tempatnya tinggal bersama teman-temannya yang mengalami nasib sama seperti dirinya.

Kepolosan Mardiyem sebagai seorang anak berusia 13 tahun terenggut setelah seorang tentara Jepang memaksanya berhubungan intim, disusul lima orang lainnya yang memperlakukan Mardiyem dengan kasar sehingga membuatnya mengalami pendarahan hebat. Begitu kondisinya pulih, Mardiyem langsung dipaksa melayani nafsu para pengunjung Asrama Telawang yang telah mengantrenya. Hari-hari Mardiyem selanjutnya pun terisi dengan rutinitas yang sama, melayani para tentara Jepang yang ingin memuaskan nafsunya secara paksa.

Sepanjang menjadi Jugun Ianfu, Mardiyem tidak begitu saja mau diperlakukan semaunya oleh para tentara yang memakainya. Dia sering membantu teman-temannya yang kesulitan uang dengan membantu mereka semampunya. MArdiyem juga sering memberontak kepada Cikada, pengelola asrama Telawang yang semena-mena memperlakukannya dan teman-temannya. Cikada inilah yang kemudian ikut andil dalam pengguguran paksa kandungan Mardiyem dan juga menyiksa wanita tersebut hingga mengalami cacat seumur hidup.

Keberadaan Asrama Telawang sebagai Ian-jo, semacam rumah bordil yang disediakan oleh militer Jepang untuk digunakan oleh para tentara Jepang untuk memuaskan nafsu mereka ini berakhir saat Sekutu datang menyerang Indonesia. Walaupun masa penjajahan Jepang selama tiga tahun sejak 1942 itu berakhir, namun nasib para mantarn Jugun Ianfu yang terdiri dari beberapa angkatan tidak serta merta membaik, bahkan banyak dari mereka mengalami nasib buruk karena status mereka sebagai mantan budak seks tentara Jepang tersebut. Uang yang dijanjikan bisa diambil selepas mereka keluar dari Asrama dengan menukar karcis pelanggan yang mereka miliki tidak pernah direalisasikan, bahkan hingga puluhan tahun kemudian.

Mardiyem termasuk salah satu yang bernasib sedikit lebih baik daripada teman-temannya. Dia menikah dengan Amat Mangun, seorang laki-laki yang berusia jauh lebih tua darinya yang bekerja di KNIL dan mempunyai seorang anak laki-laki bernama Mardiyono yang merupakan anaknya satu-satunya karena rahimnya yang rusak setelah pengguguran paksa di masa lalu tidak akan kuat untuk mengandung anak lagi. Setelah Amat Mangun mengajukan pensiun dini dan pulang ke Yogyakarta, Mardiyem mencoba bertahan hidup dengan berbagai cara, berdagang makanan, kain, dan akhirnya membuka bisnis katering yang cukup sukses. Namun kesuksesan tersebut langsung surut saat dia membuka diri kepada masyarakat bahwa dirinya adalah mantan Jugun Ianfu. Segera saja masyarakat menjauhi Mardiyem dan bahkan menghinanya. Untunglah di kemudian hari setelah perjuangan panjang, masyarakat sekitar tempat tinggal Mardiyem menyadari bahwa bukan kesalahan dan keinginan Mardiyem kalau di masa lalu dia harus menjadi budak seks tentara Jepang.

Perjuangan Mardiyem
mardiyem_suhartiIsu Jugun Ianfu muncul pada tahun 1991 dimana pada saat itu seorang mantan Jugun Ianfu dari Korea Selatan, Kim Hak Soon memberikan kesaksian kepada publik bahwa dirinya pernah dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang di masa lalu. Segera saja pernyataan tersebut disusul oleh para mantan Jugun Ianfu di berbagai negara seperti Filipina, Indonesia, dan seluruh negara Asia lainnya.

Di tahun yang sama ditemukan dokumen resmi dari pemerintah Jepang yang mencantumkan perlunya dibuat Ian-jo sebagai tempat hiburan dan pelampiasan seks para tentara Jepang yang sedang berperang di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun pemerintah Jepang sendiri berdalih Jugun Ianfu dikelola dan dioperasikan oleh pihak swasta dan menolak meminta maaf secara resmi kepada para Jugun Ianfu.

Pada tahun 1993, Mardiyem mengadukan nasibnya kepada LBH Yogyakarta dan menjadi menjadi mantan Jugun Ianfu Indonesia pertama yang mencari bantuan secara hukum. Mardiyem pun berusaha menghubungi teman-temannya sesama mantan Jugun Ianfu yang masih hidup untuk ikut serta memperjuangkan nasib mereka agar diakui keberadaannya oleh pemerintah Jepang dan pemerintah Indonesia itu sendiri.

Tahun 1995, Mardiyem didampingi LBH Yogyakarta pergi ke Jepang untuk pertama kalinya membuka masalah Jugun Ianfu Indonesia di forum internasional. Setahun kemudian Mardiyem mendapat undangan dari salah seorang dosen Jepang untuk mensosialisasikan kesaksiannya sebagai seorang Jugun Ianfu di berbagai kampus di negara tersebut.

Walaupun menghadapi berbagai rintangan terutama untuk mendapatkan pengakuan akan keberadaan Jugun Ianfu di masa lalu oleh pemerintah Jepang, namun Mardiyem tidak patah semangat. Dia mendapat banyak dukungan pihak-pihak yang bersimpati padanya yang sebagian besar malah orang Jepang itu sendiri secara perorangan dan lembaga pembela Jugun Ianfu.

Selama berjuang mendapatkan pengakuan, satu per satu teman Mardiyem sesama mantan Jugun Ianfu meninggal karena usia renta dan sakit-sakitan. Akhirnya, pada tanggal 20 Desember 2007, Mardiyem meninggal pada usia 78 tahun setelah terbaring sakit selama tiga bulan. Namun perjuangan Mardiyem sendiri belum berakhir karena pemerintah Jepang sendiri belum sepenuhnya mengakui keberadaan para mantan Jugun Ianfu.

foto-jugun-ianfu-di-Erasmus

Sosok tua Mardiyem

Membaca buku ini membuat kita menyadari bahwa ternyata banyak perempuan Indonesia yang di masa lalu harus menjadi korban kebuasan dan kebiadaban nafsu para tentara Jepang. Perempuan-perempuan yang sekarang sudah renta tersebut harus menanggung duka masa lalu yang tidak terpulihkan karena pemerintah Jepang sendiri berusaha mengingkari keberadaan Jugun Ianfu sementara pemerintah Indonesia sendiri terkesan menganggap isu tersebut sebagai masa lalu yang lebih baik dilupakan.

Ketidakpedulian pemerintah Indonesia terhadap nasib para mantan Jugun Ianfu merupakan pukulan telak kepada masyarakat Indonesia, terutama generasi muda. Terlihat pula keserakahan pemerintah di masa Orde Baru yang menerima begitu saja bantuan dari Asian Women Fund (AWF) bentukan Jepang yang ditengarai sebagai pemecah belah persatuan para mantan Jugun Ianfu. Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa dana tersebut akan digunakan untuk membangun beberapa panti jompo sebagai tempat menampung para mantan Jugun Ianfu, namun pada kenyataannya dana bantuan tersebut lenyap tak berbekas. Sangat miris bagaimana pemerintah Indonesia tidak bisa melindungi kehormatan para korban tersebut.

Sensasi rasa yang tertinggal: 4/5

Sekilas kata:
Buku ini aku dapat dari Giveaway yang diadakan oleh Oky yang disponsori oleh penerbit Esensi Erlangga Group. Jujur, butuh perjuangan keras untukku yang tidak terbiasa membaca buku non fiksi sehingga resensinya pun terpaksa diterbitkan di detik-detik terakhir batas akhir yang diberikan oleh pihak penerbit. Terimakasih untuk Oky dan Esensi 🙂

Worth to read:
http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/17/wanita-indonesia-antara-kegelapan-dan-masa-depannya/
http://www.langitperempuan.com/mardiyem-suarakan-luka-abadi-perbudakan-seks-perang-dunia-ii/

12 thoughts on “Momoye: Mereka Memanggilku

  1. Thanks for the review..

    dan… aku baru tahu kalau ini non-fiksi. Maaf ya, kupikir hisfic m(_ _)m
    Tapi makasih banyak sudah bisa menyelesaikan buku ini dan membuat review lengkap yg top markotop!! I like it ^^

  2. saya seorang mahasiswa tingkat 4 sastra jepang di salah satu PTN di Malang, reviev ini bagus sekali, dan memberi informasi yang sangat berharga. dari membaca reviev ini saya menjadi terbuka pikirannya bagaimana wanita pada zaman pendudukan Jepang diperlakukan, menjadi pandangan saya untuk melihat masa depan dan beberapa mata pelajaran yang menyangkut hal ini, bagus sekali,..terima kasih sudah memposting artikel yang sebagus ini.. 🙂

Leave a reply to daneeollie Cancel reply