Tanah Tabu

Detail buku:
Judul: Tanah Tabu
Penulis: Anindita S. Thayf
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 237 hlm
Cetakan I, Mei 2009
ISBN: 978-979-22-4567-7

Blurb:

*Pemenang I Sayembara Novel DKJ 2008*

“Di ujung sabar ada perlawanan. Di batas nafsu ada kehancuran. Dan air mata hanyalah untuk yang lemah.”

Mabel percaya takdir akan berakhir buruk jika kita tidak menjaga langkah, apalagi bagi perempuan seperti dirinya. Tapi Mace, sang menantu, belum bisa melupakan trauma pada masa lalu. Sementara Leksi, cucu kesayangan Mabel, masih suka semaunya sendiri. Beruntung ada ada Pum dan Kwee yang bisa diandalkan. Bersama keduanya, si kecil Leksi berlajar menjalani hidup yang keras di atas Tanah Tabu.

Dan, pada kita semua, Mabel berpesan, “Kita harus tetap kuat…. Jangan menyerah. Terus berjuang demi anak-cucu kita. Mereka harus mendapatkan kehidupan yang lebih baik.”

Anindita tidak menulis sebuah novel etnografi dengan semangat eksotisme kolonial, melainkan dengan perspektif emik yang penuh empati. Melalui novel ini saya berkenalan dengan Leksi, seorang bocah Papua, yang dengan kenaifannya justru menunjukkan kritisisme cerdas; juga Mabel yang menjadi eksemplar seorang perempuan hebat tanpa perlu ribet dan genit dengan retorika la aktivis perempuan menengah-kota. -Kris Budiman, Kritikus Sastra, Juri Sayembara Novel DKJ 2008-

Sosok Mabel dalam novel ini menampilkan perempuan yang melawan diskriminasi dalam konteks sosio kultural dan politik masyarakatnya.
–Linda Christanty, Penulis dan Jurnalis, Juri Sayembara Novel DKJ 2008-

Tanah Tabu menarik bukan saja karena penguasaan atas materi penulisan yang baik, maupun penyusunan komposisinya, tetapi juga urgensi masalah, yang membuatnya sangat penting.
–Seno Gumira Ajidarma, Cerpenis, Novelis dan Wartawan, Juri Sayembara Novel DKJ 2008-

Resensi:

Tanah kita keramat, Nak. Tabu. Diciptakan Yang Kuasa khusus untuk kita, tahukah kenapa?  Sebab dia tahu kita bisa diandalkan untuk menjaganya. hlm.90

Sepenggal kalimat dari Mabel, tokoh perempuan dari Suku Dani yang menjadi pusat cerita ini seakan menjadi peringatan kepada para putera bangsa Indonesia pada umumnya. Bagaimana Mabel menolak mentah-mentah terlibat dengan kekuasaan asing yang mulai merasuki sebagian besar warga sukunya. Sebagian besar dari mereka tentu saja tergiur dengan kekayaan dan kesejahteraan yang sangat langka ditemukan di tempat tinggal Suku Dani sehingga dengan mudah menjual tanahnya kepada para pendatang yang nantinya akan memecah belah persatuan antar suku di pedalaman tanah Papua.

Siapakah Mabel? Dia adalah seorang perempuan dari Suku Dani yang mendapat kesempatan untuk belajar, memperoleh pendidikan, dan pengetahuan lebih daripada orang-orang dari sukunya setelah dia diajak serta oleh sebuah keluarga Belanda. Tentu saja keluarga Belanda tersebut tidak begitu saja memilih Mabel untuk menyertai mereka. Mereka melihat kesungguhan dan tekat kuat Mabel yang tidak biasa dimiliki oleh orang muda dari suku di pedalaman Papua tersebut.

Kau tidak bisa membuat pagar rusak di ladang menjadi bagus hanya dengan berharap ada seseorang yang akan datang dan memperbaikinya untukmu. Tapi kau harus berusaha memperbaikinya sendiri sebelum sekawanan babi liar menyerbu masuk dan merusak semua isi ladang. hlm.33

Pengalaman yang menempa Mabel menjadi perempuan yang banyak pengetahuan dan berprinsip kuat ini berusaha diturunkannya kepada Leksi, cucu perempuannya yang dianggapnya mempunyai semangat dan tekad baja seperti dirinya di masa muda. Namun Leksi yang masih anak-anak menganggap bahwa belajar di sekolah itu tidak terlalu menyenangkan, dia hanya ingin menghabiskan waktu untuk bermain dengan Kwee dan Yosi, kedua sahabat baiknya. Pun demikian, Mabel selalu mampu memacu semangat cucunya tersebut,

Kalau ada orang yang datang kepadamu dan bilang ia akan membuatmu jauh lebih kaya, bantingkan saja pintu di depan hidungnya. Tapi kalau orang itu bilang ia akan membuatmu lebih pintar dan maju, suruh dia masuk. Kita boleh menolak uang karena bisa saja ada setan yang bersembunyi di situ, Namun hanya orang bodoh yang menolak diberi ilmu cuma-cuma. Ilmu itu lebih berharga daripada uang. hlm.30

Cerita tentang perempuan di tanah Papua ini diceritakan oleh beberapa tokoh, yaitu Leksi-cucu Mabel-, Kwee-teman Leksi-, dan juga Pun-teman baik Mabel. Namun begitu para pembaca tidak dibuat bingung dengan pergantian sudut pandang karena pada setiap awal pergantian tersebut terdapat nama orang yang menceritakan kisah dalam buku ini. Sudut pandang Leksi dalam cerita ini tentu saja penuh kepolosan apa adanya, dan tak jarang ditimpali dengan kejengkelannya karena tingkah polah menyebalkan teman-teman di sekitarnya. Tidak jarang tingkah polah Leksi yang polos dan pemikiran ala anak kecilnya membuat para pembaca tersenyum geli sementara Mabel dengan bijak selalu menasehati cucunya tersebut.

Sebenarnya tidak ada anak-anak yang nakal atau jahat…. Kukatakan anak-anak itu serupa kapas, Mereka akan menyerap apa pun yang ada di sekelilingnya. Air laut atau air selokan. Putih atau hitam. Baik atau buruk. hlm.60

Kwee selalu menimpali dan menganggap Pum sebagai gangguan karena pria tua itu dianggapnya terlalu mengaturnya. Kwee tidak tahu, sudut pandang Pum memberikan gambaran lebih jelas bagaimana kehidupan telah membentuk karakter Mabel menjadi perempuan yang serba bisa, berpengetahuan luas, dan juga berprinsip kuat, dan juga sangat cinta dengan tanah kelahirannya, bagaimana pun kondisi tanah kelahirannya itu. Mabel sangat yakin bahwa perubahan hanya bisa dilakukan apabila seluruh masyarakat tanah Papua bersatu dan memperjuangkan keberadaan mereka tanpa harus menjilat para pendatang yang sebagian dari mereka malah merusah tanah air tercintanya itu.

Rasa takut adalah awal dari kebodohan. Dan kebodohan-jangan sekali-kali engkau memandangnya dengan sebelah mata-mampu membuat siapa pun dilupakan kodratnya sebagai manusia. hlm.163

Takdir adalah peta buta kehidupan yang kautentukan sendiri arah dan beloknya berdasarkan tujuan hidupmu. Takdir akan berakhir buruk jika kau tidak berhati-hati menjaga langkah. hlm.170

Dominasi kaum lelaki di Suku Dani dijelaskan degan sangat gamblang dalam buku ini, bahkan tidak jarang kekerasan pun terjadi di dalam rumah tangga orang-orang di sekitar Mabel. Para korban tentu saja perempuan dan anak-anak karena mereka adalah makhluk yang lemah. Tidak jarang para istri yang menjadi korban kekerasan memaklumi tindakan suami yang dianggapnya pelindung dalam keluarga. Bahkan mereka menurunkan pemikiran bahwa tempat para perempuan adalah di rumah dan menuruti para suami kepada anak-anaknya. Tentu saja pemikiran ini ditentang dengan keras oleh Mabel. Namun sekali lagi dia menyerahkan semua keputusan kepada pihak istri yang teraniaya karena hanya dengan keinginan kuat merekalah segalanya bisa berubah.

Kau ini anak perempuan atau laki-lakikah? Bantu-bantu di rumah dan kebun saja sudah! Urus kau punya adik-adik itu juga. sudah itu tugas perempuan. Jangan pikir yang macam-macam. hlm.52

Begitulah laki-laki. Kekuatan dan kegagalan selalu membuat mereka merasa sebagai penguasa. Lupa diri sebagai manusia. Tak ingat bahwa sebagian darah yang ditumpahkan demi kelahirannya, dan keringat yang mengucur saat mengurusnya, adalah milik perempuan. hlm.194

Belenggu ketidakberdayaan perempuan Suku Dani dengan jelas disebutkan dalam buku ini, yaitu keluarga, suami, kebun, dan babi. Semua perempuan suku tersebut sedari kecil dididik untuk bermimpi menjadi pengantin dari seorang suami pilihan kedua orang tua mereka, setelah itu mereka akan mengabdi sepenuhnya kepada suami mereka tersebut. Kebun dan babi pun harus mereka pelihara dengan baik sebagai tanda seorang perempuan berhasil. Dari sini terlihat betapa sangat jarangnya perempuan seperti Mabel yang berkesempatan mendapat pendidikan dan ilmu pengetahuan di luar tempat tinggal Suku Dani.

Dari dulu aku jarang menangis. Menangis hanya membuatku semakin lemah, dan aku tidak mau itu terjadi. Selain itu, aku juga kasihan dengan Tanah Ibu kalau kita terus-menerus menyiramnya dengan air mata kita. Air jadi asin. Tanaman tidak bisa tumbuh subur. Binatang di hutan berkurang. Langit pun ikut mendung. Nasib baik tidak akan datang kalau kita menangis terus. hlm 57-58

Tentu saja pemikiran modern dan penuh perlawanan dari Mabel seperti yang selama ini dia lakukan mendapat tentangan dari banyak pihak, terutama para laki-laki yang merasa terancam kekuasaannya. Mereka yang memperoleh banyak keuntungan dengan ‘menjual’ tanah mereka tentu tidak ingin sumber kemakmuran mereka lenyap sehingga berbagai cara mereka lakukan untuk mempertahankan kekuasaan mereka tersebut.

Membaca buku tentang diskriminiasi perempuan di tanah Papua ini akan membuka pemikiran kita tentang bagaimana tradisi patriaki yang sangat kental sangat susah didobrak, bahkan seakan menjadi rahasia umum bahwa perempuan itu adalah makhluk lemah yang bisa dianiaya sekehendak suami ataupun laki-laki lain di kehidupan mereka. Tanah Tabu sangat memberi inspirasi di bulan lahir R.A. Kartini ini, dimana para perempuan harus kuat, dan tanah kelahiran harus diperjuangkan walaupun terasa berat ketika kekayaan, kesejahteraan, dan kemakmuran semu ditawarkan oleh para pendatang yang hanya menganggap harta berharga dari tanah tersebut sebagai sumber penghasilan belaka.

Di ujung sabar, ada perlawanan
Di batas nafsu, ada kehancuran
Dan air mata hanyalah untuk yang lemah. hlm.5

Sensasi rasa yang tertinggal: 4/5

Tentang penulis:
Anindita Siswanto Thayf. Lahir di Makassar, 5 April 1978. Jatuh cinta pertama kali dengan buku sejak usia taman kanak-kanak hingga sekarang. Mengawali kegiatan menulis karena suka berkhayal. Memilih menjadi penulis karena sudah bosan menunggu lamaran kerjanya diterima. Tanah Tabu adalah novelnya yang meraih juara pertama dalam sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2008.

Lulusan Teknik Elektro Universitas Hasanudin, Makassar, ini kerap dilanda grogi kalau diminta bicara di depan umum. Guna mendukung kegiatan berkhayal dan proses menulisnya, kini dia tinggal di Lereng Merapi yang sepi dan dikelilingi kebun salak pondoh bersama suami.sumber

Sekilas kata:

posting bareng BBI 2014Resensi ini dibuat dalam rangka Posbar BBI April 2014 untuk tema buku Perempuan

10 thoughts on “Tanah Tabu

  1. Terima kasih sudah membaca kisah Leksi. Jika ada waktu, coba deh TT dibaca kembali dgn lebih hati-hati sebab masih ada ‘puzzle’ penting yg sepertinya belum kamu ‘pecahkan’ sebagaimana yg terbaca lewat review. Happy reading 🙂 —- Anindita S. Thayf

Leave a comment